Welcome to my blog !!!

Welcome to my blog !!!

Blog ini membahas tentang keperawatan, kebidanan, serta hal - hal umum lainnya...

Senang sekali jika anda mau berbagi pendapat dengan saya disini... ^^

Monday 23 April 2012

LAPORAN PENDAHULUAN HIPERBILIRUBINEMIA (IKTERUS NEONATORUM)

LANDASAN TEORI MEDIK

A.     PENGERTIAN
Hiperbilirubinemia / Ikterus neonatorum) adalah keadaan ikterus yang terjadi pada bayi baru lahir yaitu meningginya kadar bilirubin di dalam jaringan ekstravaskuler sehingga kulit, konjungtiva, mukosa dan alat tubuh lainnya berwarna kuning ( Ngastiyah, 1997).

B.     EPIDEMIOLOGI
Pada sebagian besar neonatus, ikterik akan ditemukan dalam minggu pertama kehidupannya. Dikemukan bahwa angka kejadian iketrus terdapat pada 60 % bayi cukup bulan dan 80 % bayi kurang bulan. Ikterus ini pada sebagian penderita dapat berbentuk fisiologik dan sebagian lagi patologik yang dapat menimbulkan gangguan yang menetap atau menyebabkan kematian.

C.     KLASIFIKASI
Ikterus neonatorum dibagi menjadi ikterus fisiologis dan patologis ( Ngastiyah,1997).
1.      Ikterus Fisiologis
Ikterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987, Ngastiyah, ):
·         Timbul pada hari ke2 dan ke-3 dan tampak jelas pada hari ke-5 dan ke-6.
·         Kadar Bilirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % per hari pada kurang bulan.
·         Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari
·         Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %
·         Ikterus hilang pada 10 hari pertama
·         Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologis tertentu
2.      Ikterus Patologis/Hiperbilirubinemia
Adalah suatu keadaan dimana kadar Bilirubin dalam darah mencapai suatu nilai yang mempunyai potensi untuk menimbulkan Kern Ikterus kalau tidak ditanggulangi dengan baik, atau mempunyai hubungan dengan keadaan yang patologis.
Karakteristik ikterus patologis (Ngastiyah,1997 ) sebagai berikut :
-          Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama kehidupan. Ikterus menetap sesudah bayi berumur 10 hari ( pada bayi cukup bulan) dan lebih dari 14 hari pada bayi baru lahir BBLR.
-          Konsentrasi bilirubin serum melebihi 10 mg % pada bayi kurang bulan (BBLR) dan 12,5 mg% pada bayi cukup bulan.
-          Bilirubin direk lebih dari 1mg%.
-          Peningkatan bilirubin 5 mg% atau lebih dalam 24 jam.
-          Ikterus yang disertai proses hemolisis (inkompatibilitas darah, defisiensi enzim G-6-PD, dan sepsis).
Ada juga pendapat ahli lain tentang hiperbilirubinemia yaitu Brown menetapkan Hiperbilirubinemia bila kadar Bilirubin mencapai 12 mg% pada cukup bulan, dan 15 mg % pada bayi kurang bulan. Utelly menetapkan 10 mg% dan 15 mg%.

D.     ETIOLOGI
1.      Penyebab Ikterus fisiologis
·         Kurang protein Y dan Z
·         Enzim glukoronyl transferase yang belum cukup jumlahnya.
·         Pemberian ASI yang mengandung pregnanediol atau asam lemak bebas yang akan menghambat kerja G-6-PD
2.      Penyebab ikterus patologis
a.       Peningkatan produksi :
·         Hemolisis, misalnya pada Inkompatibilitas yang terjadi bila terdapat ketidaksesuaian golongan darah dan anak pada penggolongan Rhesus dan ABO.
·         Pendarahan tertutup misalnya pada trauma kelahiran.
·         Ikatan Bilirubin dengan protein terganggu seperti gangguan metabolik yang terdapat pada bayi Hipoksia atau Asidosis .
·         Defisiensi G6PD/ Glukosa 6 Phospat Dehidrogenase.
·         Ikterus ASI yang disebabkan oleh dikeluarkannya pregnan 3 (alfa), 20 (beta) , diol (steroid).
·         Kurangnya Enzim Glukoronil Transeferase , sehingga kadar Bilirubin Indirek meningkat misalnya pada berat lahir rendah.
·         Kelainan kongenital (Rotor Sindrome) dan Dubin Hiperbilirubinemia.
b.      Gangguan transportasi akibat penurunan kapasitas pengangkutan misalnya pada Hipoalbuminemia atau karena pengaruh obat-obat tertentu misalnya Sulfadiasine, sulfonamide, salisilat, sodium benzoat, gentamisisn,dll.
c.       Gangguan fungsi Hati yang disebabkan oleh beberapa mikroorganisme atau toksin yang dapat langsung merusak sel hati dan darah merah seperti Infeksi , Toksoplasmosis, Sifilis, rubella, meningitis,dll.
d.      Gangguan ekskresi yang terjadi intra atau ekstra Hepatik.
e.       Peningkatan sirkulasi Enterohepatik misalnya pada Ileus Obstruktif, hirschsprung.

E.     PATOFISIOLOGI IKTERUS
Untuk lebih memahami tentang patofisiologi ikterus maka terlebih dahulu akan diuraikan tentang metabolisme bilirubin
1.      Metabolisme Bilirubin
Segera setelah lahir bayi harus mengkonjugasi Bilirubin (merubah Bilirubin yang larut dalam lemak menjadi Bilirubin yang mudah larut dalam air) di dalam hati. Frekuensi dan jumlah konjugasi tergantung dari besarnya hemolisis dan kematangan hati, serta jumlah tempat ikatan Albumin (Albumin binding site). Pada bayi yang normal dan sehat serta cukup bulan, hatinya sudah matang dan menghasilkan Enzim Glukoronil Transferase yang memadai sehingga serum Bilirubin tidak mencapai tingkat patologis.
2.      Patofisiologi Hiperbilirubinemia
Peningkatan kadar Bilirubin tubuh dapat terjadi pada beberapa keadaan . Kejadian yang sering ditemukan adalah apabila terdapat penambahan beban Bilirubin pada sel Hepar yang berlebihan. Hal ini dapat ditemukan bila terdapat peningkatan penghancuran Eritrosit, Polisitemia.
Gangguan pemecahan Bilirubin plasma juga dapat menimbulkan peningkatan kadar Bilirubin tubuh. Hal ini dapat terjadi apabila kadar protein Y dan Z berkurang, atau pada bayi Hipoksia, Asidosis. Keadaan lain yang memperlihatkan peningkatan kadar Bilirubin adalah apabila ditemukan gangguan konjugasi Hepar atau neonatus yang mengalami gangguan ekskresi misalnya sumbatan saluran empedu.
Pada derajat tertentu, Bilirubin ini akan bersifat toksik dan merusak jaringan tubuh. Toksisitas terutama ditemukan pada Bilirubin Indirek yang bersifat sukar larut dalam air tapi mudah larut dalam lemak. sifat ini memungkinkan terjadinya efek patologis pada sel otak apabila Bilirubin tadi dapat menembus sawar darah otak. Kelainan yang terjadi pada otak disebut Kernikterus. Pada umumnya dianggap bahwa kelainan pada saraf pusat tersebut mungkin akan timbul apabila kadar Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg/dl.
Mudah tidaknya kadar Bilirubin melewati sawar darah otak ternyata tidak hanya tergantung pada keadaan neonatus. Bilirubin Indirek akan mudah melalui sawar darah otak apabila bayi terdapat keadaan Berat Badan Lahir Rendah , Hipoksia, dan Hipoglikemia ( AH, Markum,1991).

F.      TANDA DAN GEJALA
Menurut Surasmi (2003) gejala hiperbilirubinemia dikelompokkan menjadi :
1.      Gejala akut : gejala yang dianggap sebagai fase pertama kernikterus pada neonatus adalah letargi, tidak mau minum dan hipotoni.
2.      Gejala kronik : tangisan yang melengking (high pitch cry) meliputi hipertonus dan opistonus (bayi yang selamat biasanya menderita gejala sisa berupa paralysis serebral dengan atetosis, gengguan pendengaran, paralysis sebagian otot mata dan displasia dentalis).
Sedangakan menurut Handoko (2003) gejalanya adalah warna kuning (ikterik) pada kulit, membrane mukosa dan bagian putih (sclera) mata terlihat saat kadar bilirubin darah mencapai sekitar 40 µmol/l.

G.    KOMPLIKASI
Komplikasi dari hiperbilirubin dapat terjadi Kern Ikterus yaitu suatu kerusakan otak akibat perlengketan Bilirubin Indirek pada otak terutama pada Korpus Striatum, Talamus, Nukleus Subtalamus, Hipokampus, Nukleus merah , dan Nukleus pada dasar Ventrikulus IV. Gambaran klinik dari kern ikterus adalah :
-          Pada permulaan tidak jelas , yang tampak mata berputar-putar
-          Letargi, lemas tidak mau menghisap.
-          Tonus otot meninggi, leher kaku dan akhirnya epistotonus
-          Bila bayi hidup, pada umur lebih lanjut dapat terjadi spasme otot, epistotonus, kejang, stenosis yang disertai ketegangan otot.
-          Dapat terjadi tuli, gangguan bicara dan retardasi mental.

H.    DIAGNOSIS
Anamnesis ikterus pada riwayat obstetri sebelumnya sangat membantu dalam menegakkan diagnosis hiperbilirubnemia pada bayi. Termasuk anamnesis mengenai riwayat inkompabilitas darah, riwayat transfusi tukar atau terapi sinar pada bayi sebelumnya. Disamping itu faktor risiko kehamilan dan persalinan juga berperan dalam diagnosis dini ikterus/hiperbilirubinemia pada bayi. Faktor risiko itu antara lain adalah kehamilan dengan komplikasi, obat yang diberikan pada ibu selama hamil/persalinan, kehamilan dengan diabetes mellitus, gawat janin, malnutrisi intrauterine, infeksi intranatal, dan lain-lain.
Secara klinis ikterus pada bayi dapat dilihat segera setelah lahir atau setelah beberapa hari kemudian. Pada bayi dengan peninggian bilirubin indirek, kulit tampak berwarna kuning terang sampai jingga, sedangkan pada penderita dengan gangguan obstruksi empedu warna kuning kulit tampak kehijauan. Penilaian ini sangat sulit dikarenakan ketergantungan dari warna kulit bayi sendiri. Tanpa mempersoalkan usia kehamilan atau saat timbulnya ikterus, hiperbilirubinemia yang cukup berarti memerlukan penilaian diagnostic lengkap, yang mencakup penentuan fraksi bilirubin langsung (direk) dan tidak langsung (indirek) hemoglobin, hitung lekosit, golongan darah, tes Coombs dan pemeriksaan apusan darah tepi. Bilirubinemia indirek, retikulositosis dan sediaan apusan memperlihatkan petunjuk adanya hemolisis akibat nonimunologik. Jika terdapat hiperbilirunemia direk, adanya hepatitis, fibrosis kistis dan sepsis. Jika hitung retikulosit, tes Coombs dan bilirubin indirek normal, maka mungkin terdapat hiperbilirubinemia indirek fisiologis atau patologis.
a.       Ikterus fisiologis.
Dalam keadaan normal, kadar bilirubin indirek dalam serum tali pusat adalah 1 – 3 mg/dl dan akan meningkat dengan kecepatan kurang dari 5 mg/dl /24 jam; dengan demikian ikterus baru terlihat pada hari ke 2 -3, biasanya mencapai puncak antara hari ke 2 – 4, dengan kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadar 5 – 6 mg/dl untuk selanjutnya menurun sampai kadarnya lebih rendah dari 2 mg/dl antara hari ke 5 – 7 kehidupan.
b.      Hiperbilirubin patologis.
Makna hiperbilirubinemia terletak pada insiden kernikterus yang tinggi , berhubungan dengan kadar bilirubin serum yang lebih dari 18 – 20 mg/dl pada bayi aterm. Pada bayi dengan berat badan lahir rendah akan memperlihatkan kernikterus pada kadar yanglebihrendah(10–15mg/dl).

I.       DIAGNOSIS BANDING
Ikterus yang timbul 24 jam pertama kehidupan mungkin akibat eritroblastosis foetalis, sepsis, rubella atau toksoplasmosis congenital. Ikterus yang timbul setelah hari ke 3 dan dalam minggu pertama, harus dipikirkan kemungkinan septicemia sebagai penyebabnya. Ikterus yang permulaannya timbul setelah minggu pertama kehidupan memberi petunjuk adanya septicemia, atresia kongental saluran empedu, hepatitis serum homolog, rubella, hepatitis herpetika, anemia hemolitik yang disebabkan oleh obat-obatan dan sebagainya.
Ikterus yang persisten selama bulan pertama kehidupan memberi petunjuk adanya apa yang dinamakan “inspissated bile syndrome”. Ikterus ini dapat dihubungkan dengan nutrisi parenteral total. Kadang bilirubin fisiologis dapat berlangsung berkepanjangan sampai beberapa minggu seperti pada bayi yang menderita penyakit hipotiroidisme atau stenosis pylorus.

J.      PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang perlu dilakukan sesuai dengan waktu timbulnya ikterus, yaitu :
1.      Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama.
Penyebab Ikterus terjadi pada 24 jam pertama menurut besarnya kemungkinan dapat disusun sbb:
·         Inkomptabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain.
·         Infeksi Intra Uterin (Virus, Toksoplasma, Siphilis dan kadang-kadang Bakteri)
·         Kadang-kadang oleh Defisiensi Enzim G6PD.
Pemeriksaan yang perlu dilakukan:
·         Kadar Bilirubin Serum berkala.
·         Darah tepi lengkap (blood smear perifer ) untuk menunjukkan sel darah merah abnormal atau imatur, eritoblastosisi pada penyakit Rh atau sferosis pada inkompatibilitas ABO.
·         Golongan darah ibu dan bayi untuk mengidentifikasi inkompeten ABO.
·         Test Coombs pada tali pusat bayi baru lahir
Hasil positif test Coomb indirek membuktikan antibody Rh + anti A dan anti B dalam darah ibu. Hasil positif dari test Coomb direk menandakan adanya sensitisasi ( Rh+, anti A, anti B dari neonatus )
·         Pemeriksaan skrining defisiensi G6PD, biakan darah atau biopsi Hepar bila perlu.
2.      Ikterus yang timbul 24 - 72 jam sesudah lahir.
·         Biasanya Ikterus fisiologis.
·         Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah ABO atau Rh, atau golongan lain. Hal ini diduga kalau kenaikan kadar Bilirubin cepat misalnya melebihi 5mg% per 24 jam.
·         Defisiensi Enzim G6PD atau Enzim Eritrosit lain juga masih mungkin.
·         Polisetimia.
·         Hemolisis perdarahan tertutup ( pendarahan subaponeurosis, pendarahan Hepar, sub kapsula dll).
Bila keadaan bayi baik dan peningkatannya cepat maka pemeriksaan yang perlu dilakukan:
·         Pemeriksaan darah tepi.
·         Pemeriksaan darah Bilirubin berkala.
·         Pemeriksaan skrining Enzim G6PD.
·         Pemeriksaan lain bila perlu.
3.      Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama.
·         Sepsis.
·         Dehidrasi dan Asidosis.
·         Defisiensi Enzim G6PD.
·         Pengaruh obat-obat.
·         Sindroma Criggler-Najjar, Sindroma Gilbert.
4.      Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya:
·         Karena ikterus obstruktif.
·         Hipotiroidisme
·         Breast milk Jaundice.
·         Infeksi.
·         Hepatitis Neonatal.
·         Galaktosemia
Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan:
·         Pemeriksaan Bilirubin berkala.
·         Pemeriksaan darah tepi.
·         Skrining Enzim G6PD.
·         Biakan darah, biopsi Hepar bila ada indikasi.

K.    PENATALAKSANAAN MEDIS
Berdasarkan pada penyebabnya, maka manajemen bayi dengan Hiperbilirubinemia diarahkan untuk mencegah anemia dan membatasi efek dari Hiperbilirubinemia.Pengobatan mempunyai tujuan :
-          Menghilangkan Anemia
-          Menghilangkan Antibodi Maternal dan Eritrosit Tersensitisasi
-          Meningkatkan Badan Serum Albumin
-          Menurunkan Serum Bilirubin

Metode therapi pada Hiperbilirubinemia meliputi : Fototerapi, Transfusi Pengganti, Infus Albumin dan Therapi Obat, Menyusui Bayi dengan ASI, Terapi Sinar Matahari
1.      Fototherapi ( terapi sinar )
Fototerapi diberikan jika kadar bilirubin darah indirek lebih dari 10 mg%. Beberapa ilmuwan mengarahkan untuk memberikan Fototherapi Propilaksis pada 24 jam pertama pada Bayi Resiko Tinggi dan Berat Badan Lahir Rendah.
Cara kerja terapi sinar yaitu menimbulkan dekomposisi bilirubin dari suatu senyawaan tetrapirol yang sulit larut dalam air menjadi senyawa dipirol yang mudah larut dalam air sehingga dapt dikeluarkan melalui urin dan faeces. Di samping itu pada terapi sinar ditemukan pula peninggian konsentrasi bilirubin indirek dalam cairan empedu duodenum dan menyebabkan bertambahnya pengeluaran cairan empedu ke dalam usus sehingga peristaltic usus meningkat dan bilirubin keluar bersama faeces. Dengan demikian kadar bilirubin akan menurun.
Hal-hal yang perlu diperhatikan pada pemberian terapi sinar adalah :
a.       Pemberian terapi sinar biasanya selama 100 jam.
b.      Lampu yang dipakai tidak melebihi 500 jam. Sebelum digunakan cek apakah lampu semuanya menyala. Tempelkan pada alat terapi sinar ,penggunaan yang ke berapa pada bayi itu untuk mengetahui kapan mencapai 500 jam penggunaan.
c.       Pasang label , kapan mulai dan kapan selesainya fototerapi.
d.      Pada saat dilakukan fototerapi, posisi tubuh bayi akan diubah-ubah; telentang lalu telungkup agar penyinaran berlangsung merata
Komplikasi fototerapi :
a.       Terjadi dehidrasi karena pengaruh sinar lampu dan mengakibatkan peningkatan Insensible Water Loss (IWL) (penguapan cairan). Pada BBLR kehilangan cairan dapat meningkat 2-3kali lebih besar.
b.      Frekuensi defikasi meningkat sebagai meningkatnya bilirubin indirek dalam cairan empedu dan meningkatnya peristaltik usus.
c.       Timbul kelainan kulit sementara pada daerah yang terkena sinar ( berupa kulit kemerahan)tetapi akan hilang setelah terapi selesai.
d.      Gangguan retina bila mata tidak ditutup.
e.       Kenaikan suhu akibat sinar lampu. Jika hal ini terjadi sebagian lampu dimatikan,terapi diteruskan. Jika suhu terus naik lampu semua dimatikan sementara, bayi dikompres dingin dan diberikan ekstra minum.
f.       Komplikasi pada gonad yang diduga menimbulkan kemandulan.
2.      Tranfusi Pengganti
Transfusi Pengganti atau Imediat diindikasikan adanya faktor-faktor :
-          Titer anti Rh lebih dari 1 : 16 pada ibu.
-          Penyakit Hemolisis berat pada bayi baru lahir.
-          Penyakit Hemolisis pada bayi saat lahir perdarahan atau 24 jam pertama.
-          Tes Coombs Positif
-          Kadar Bilirubin Direk lebih besar 3,5 mg / dl pada minggu pertama.
-          Serum Bilirubin Indirek lebih dari 20 mg / dl pada 48 jam pertama.
-          Hemoglobin kurang dari 12 gr / dl.
-          Bayi dengan Hidrops saat lahir.
-          Bayi pada resiko terjadi Kern Ikterus
Transfusi Pengganti digunakan untuk :
-          Mengatasi Anemia sel darah merah yang tidak Suseptible (rentan) terhadap sel darah merah terhadap Antibodi Maternal.
-          Menghilangkan sel darah merah untuk yang Tersensitisasi (kepekaan)
-          Menghilangkan Serum Bilirubin
-          Meningkatkan Albumin bebas Bilirubin dan meningkatkan keterikatan dengan Bilirubin
Pada Rh Inkomptabiliti diperlukan transfusi darah golongan O segera (kurang dari 2 hari), Rh negatif whole blood. Darah yang dipilih tidak mengandung antigen A dan antigen B yang pendek. setiap 4 - 8 jam kadar Bilirubin harus dicek. Hemoglobin harus diperiksa setiap hari sampai stabil.
3.      Therapi Obat
Phenobarbital dapat menstimulasi hati untuk menghasilkan enzim yang meningkatkan konjugasi Bilirubin dan mengekresinya. Obat ini efektif baik diberikan pada ibu hamil untuk beberapa hari sampai beberapa minggu sebelum melahirkan. Penggunaan penobarbital pada post natal masih menjadi pertentangan karena efek sampingnya (letargi).
Colistrisin dapat mengurangi Bilirubin dengan mengeluarkannya lewat urine sehingga menurunkan siklus Enterohepatika.
4.      Menyusui Bayi dengan ASI
Bilirubin juga dapat pecah jika bayi banyak mengeluarkan feses dan urin. Untuk itu bayi harus mendapatkan cukup ASI. Seperti diketahui, ASI memiliki zat-zat terbaik bagi bayi yang dapat memperlancar buang air besar dan kecilnya. Akan tetapi, pemberian ASI juga harus di bawah pengawasan dokter karena pada beberapa kasus, ASI justru meningkatkan kadar bilirubin bayi (breast milk jaundice). Di dalam ASI memang ada komponen yang dapat mempengaruhi kadar bilirubinnya. Sayang, apakah komponen tersebut belum diketahui hingga saat ini.
Yang pasti, kejadian ini biasanya muncul di minggu pertama dan kedua setelah bayi lahir dan akan berakhir pada minggu ke-3. Biasanya untuk sementara ibu tak boleh menyusui bayinya. Setelah kadar bilirubin bayi normal, baru boleh disusui lagi.
5.      Terapi Sinar Matahari
Terapi dengan sinar matahari hanya merupakan terapi tambahan. Biasanya dianjurkan setelah bayi selesai dirawat di rumah sakit. Caranya, bayi dijemur selama setengah jam dengan posisi yang berbeda-beda. Seperempat jam dalam keadaan telentang, misalnya, seperempat jam kemudian telungkup. Lakukan antara jam 7.00 sampai 9.00. Inilah waktu dimana sinar surya efektif mengurangi kadar bilirubin. Di bawah jam tujuh, sinar ultraviolet belum cukup efektif, sedangkan di atas jam sembilan kekuatannya sudah terlalu tinggi sehingga akan merusak kulit.
Hindari posisi yang membuat bayi melihat langsung ke matahari karena dapat merusak matanya. Perhatikan pula situasi di sekeliling, keadaan udara harus bersih.


LANDASAN TEORI ASKEP

A.     PENGKAJIAN
1.      Pengumpulan Data
a.       Riwayat Penyakit
Perlunya ditanyakan apakah dulu pernah mengalami hal yang sama, apakah sebelumnya pernah mengkonsumsi obat-obat atau jamu tertentu baik dari dokter maupun yang di beli sendiri, apakah ada riwayat kontak denagn penderiata sakit kuning, adakah rwayat operasi empedu, adakah riwayat mendapatkan suntikan atau transfuse darah. Ditemukan adanya riwayat gangguan hemolissi darah (ketidaksesuaian golongan Rh atau darah ABO), polisitemia, infeksi, hematoma, gangguan metabolisme hepar, obstruksi saluran pencernaan dan ASI, ibu menderita DM.
b.      Riwayat orang tua :
Ketidakseimbangan golongan darah ibu dan anak seperti Rh, ABO, Polisitemia, Infeksi, Hematoma, Obstruksi Pencernaan dan ASI.
c.       Pengkajian Psikososial :
Dampak sakit anak pada hubungan dengan orang tua, apakah orang tua merasa bersalah, masalah Bonding, perpisahan dengan anak.
d.      Pengetahuan Keluarga meliputi :
Penyebab penyakit dan pengobatan, perawatan lebih lanjut, apakah mengenal keluarga lain yang memiliki yang sama, tingkat pendidikan, kemampuan mempelajari Hiperbilirubinemia .
e.       Pola Kebutuhan sehari-hari.
Data dasar klien: 
-          Aktivitas / istirahat : Latergi, malas 
-          Sirkulasi : Mungkin pucat, menandakan anemia. 
-          Eliminasi : Bising usus hipoaktif, Pasase mekonium mungkin lambat, Feses lunak/coklat kehijauan selama pengeluaran bilirubin,Urine gelap pekat, hitam kecoklatan ( sindrom bayi bronze )
-          Makanan/cairan : Riwayat perlambatan/makan oral buruk, ebih mungkin disusui dari pada menyusu botol, Palpasi abdomen dapat menunjukkan perbesaran limfa, hepar. 
-          Neurosensori : Hepatosplenomegali, atau hidropsfetalis dengan inkompatibilitas
Rh berat. Opistetanus dengan kekakuan lengkung punggung, menangis lirih,
aktivitas kejang (tahap krisis). 
-          Pernafasan : Riwayat afiksia 
-          Keamanan : Riwayat positif infeksi/sepsis neonatus , Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian distal tubuh, kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi. 
-          Penyuluhan/Pembelajaran : Faktor keluarga, misal: keturunan etnik, riwayat
hiperbilirubinemia pada kehamilan sebelumnya, penyakit hepar,
distrasias darah (defisit glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD). Faktor ibu, mencerna obat-obat (misal: salisilat), inkompatibilitas Rh/ABO. Faktor penunjang intrapartum, misal: persalinan pratern. 
f.       Pemeriksaan Fisik :
Pada pemeriksaan fisik didapatkan pemeriksaan derajat ikterus, ikterus terlihat pada sclera, tanda-tanda penyakit hati kronis yaitu eritema palmaris, jari tubuh (clubbing), ginekomastia (kuku putih) dan termasuk pemeriksaan organ hati (tentang ukuran, tepid an permukaan); ditemukan adanya pembesaran limpa (splenomegali), pelebaran kandung empedu, dan masa abdominal, selaput lender, kulit nerwarna merah tua, urine pekat warna teh, letargi, hipotonus, reflek menghisap kurang/lemah, peka rangsang, tremor, kejang, dan tangisan melengking
g.       Pemeriksaan Diagnostik 
·         Golongan darah bayi dan ibu, mengidentifikasi inkompatibilitas ABO. 
·         Bilirubin total: kadar direk bermakna jika melebihi 1,0 – 1,5 mg/dL kadar indirek tidak boleh melebihi peningkatan 5 mg/dL dalam 24 jam, atau tidak boleh lebih 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern. 
·         Darah lengkap: Hb mungkin rendah (< 1 mg/dL) karena hemolisis. 
·         Meter ikterik transkutan: mengidentifikasi bayi yang memerlukan penentuan bilirubin serum. 

2.      Pengelompokan Data 
a.       Data Subjektif 
·         Riwayat afiksia
·         Riwayat trauma lahir 
b.      Data Objektif 
·         Tampak ikterik pada awalnya di wajah dan berlanjut pada bagian
distal tubuh. 
·         Kulit hitam kecoklatan sebagai efek fototerapi 
·         Hepatosplenomegali. 
·         Tahap krisis: epistetanus, aktivitas kejang 
·         Urine gelap pekat 
·         Bilirubin total: 
-          Kadar direk > 1,0 – 1,5 mg/dL 
-          Kadar indirek > 5 mg/dL dalam 24 jam, atau < 20 mg/dL pada bayi cukup bulan atau 15 mg/dL pada bayi pratern. 
·         Protein serum total: < 3,0 g/dL 
·         Golongan darah bayi dan ibu inkompatibilitas ABI, Rh. 

B.     DIAGNOSA KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Yang Mungkin Muncul :
1.      Risiko/ defisit volume cairan berhubungan dengan tidak adekuatnya intake cairan, serta peningkatan Insensible Water Loss (IWL) dan defikasi sekunder fototherapi.
2.      Risiko /gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi.
3.      Risiko hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi.
4.      Gangguan parenting ( perubahan peran orang tua ) berhubungan dengan perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
5.      Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
6.      Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
7.      Risiko tinggi komplikasi (trombosis, aritmia, gangguan elektrolit, infeksi) berhubungan dengan tranfusi tukar.
8.      PK : Kern Ikterus

C.     INTERVENSI KEPERAWATAN
1.      Risiko /defisit volume cairan b/d tidak adekuatnya intake cairan serta peningkatan IWL dan defikasi sekunder fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi deficit volume cairan dengan kriteria :
-          Jumlah intake dan output seimbang
-          Turgor kulit baik, tanda vital dalam batas normal
-          Penurunan BB tidak lebih dari 10 % BBL
Intervensi & Rasional :
a.       Kaji reflek hisap bayi
( Rasional/R : mengetahui kemampuan hisap bayi )
b.      Beri minum per oral/menyusui bila reflek hisap adekuat
(R: menjamin keadekuatan intake )
c.       Catat jumlah intake dan output , frekuensi dan konsistensi faeces
( R : mengetahui kecukupan intake )
d.      Pantau turgor kulit, tanda- tanda vital ( suhu, HR ) setiap 4 jam
(R : turgor menurun, suhu meningkat HR meningkat adalah tanda-tanda dehidrasi )
e.       Timbang BB setiap hari
(R : mengetahui kecukupan cairan dan nutrisi).
2.      Risiko/hipertermi berhubungan dengan efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi hipertermi dengan kriteria suhu aksilla stabil antara 36,5-37 0 C.
Intervensi dan rasionalisasi :
a.       Observasi suhu tubuh ( aksilla ) setiap 4 - 6 jam
(R : suhu terpantau secara rutin )
b.      Matikan lampu sementara bila terjadi kenaikan suhu, dan berikan kompres dingin serta ekstra minum
( R : mengurangi pajanan sinar sementara )
c.       Kolaborasi dengan dokter bila suhu tetap tinggi
( R : Memberi terapi lebih dini atau mencari penyebab lain dari hipertermi ).
3.      Risiko /Gangguan integritas kulit berhubungan dengan ekskresi bilirubin, efek fototerapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi gangguan integritas kulit dengan kriteria :
·         tidak terjadi decubitus
·         Kulit bersih dan lembab
Intervensi :
a.       Kaji warna kulit tiap 8 jam
(R : mengetahui adanya perubahan warna kulit )
b.      Ubah posisi setiap 2 jam
(R : mencegah penekanan kulit pada daerah tertentu dalam waktu lama ).
c.       Masase daerah yang menonjol
(R : melancarkan peredaran darah sehingga mencegah luka tekan di daerah tersebut ).
d.      Jaga kebersihan kulit bayi dan berikan baby oil atau lotion pelembab
( R : mencegah lecet )
e.       Kolaborasi untuk pemeriksaan kadar bilirubin, bila kadar bilirubin turun menjadi 7,5 mg% fototerafi dihentikan
(R: untuk mencegah pemajanan sinar yang terlalu lama )
4.      Gangguan parenting ( perubahan peran orangtua) berhubungan dengan perpisahan dan penghalangan untuk gabung.
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan orang tua dan bayi menunjukan tingkah laku “Attachment” , orang tua dapat mengekspresikan ketidak mengertian proses Bounding.
Intervensi :
a.       Bawa bayi ke ibu untuk disusui
( R : mempererat kontak sosial ibu dan bayi )
b.      Buka tutup mata saat disusui
(R: untuk stimulasi sosial dengan ibu )
c.       Anjurkan orangtua untuk mengajak bicara anaknya
(R: mempererat kontak dan stimulasi sosial ).
d.      Libatkan orang tua dalam perawatan bila memungkinkan
( R: meningkatkan peran orangtua untuk merawat bayi ).
e.       Dorong orang tua mengekspresikan perasaannya
(R: mengurangi beban psikis orangtua)
5.      Kecemasan meningkat berhubungan dengan therapi yang diberikan pada bayi.
Tujuan : Setelah diberikan penjelasan selama 2x15 menit diharapkan orang tua menyatakan mengerti tentang perawatan bayi hiperbilirubin dan kooperatif dalam perawatan.
Intervensi :
a.       Kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit pasien
( R : mengetahui tingkat pemahaman keluarga tentang penyakit )
b.      Beri pendidikan kesehatan penyebab dari kuning, proses terapi dan perawatannya
( R : Meningkatkan pemahaman tentang keadaan penyakit )
c.       Beri pendidikan kesehatan mengenai cara perawatan bayi dirumah
(R : meningkatkan tanggung jawab dan peran orang tua dalam erawat bayi)
6.      Risiko tinggi injury berhubungan dengan efek fototherapi
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tidak terjadi injury akibat fototerapi ( misal ; konjungtivitis, kerusakan jaringan kornea )
Intervensi :
a.       Tempatkan neonatus pada jarak 40-45 cm dari sumber cahaya
( R : mencegah iritasi yang berlebihan).
b.      Biarkan neonatus dalam keadaan telanjang, kecuali pada mata dan daerah genetal serta bokong ditutup dengan kain yang dapat memantulkan cahaya usahakan agar penutup mata tidak menutupi hidung dan bibir
(R : mencegah paparan sinar pada daerah yang sensitif )
c.       Matikan lampu, buka penutup mata untuk mengkaji adanya konjungtivitis tiap 8 jam
(R: pemantauan dini terhadap kerusakan daerah mata )
d.      Buka penutup mata setiap akan disusukan.
( R : memberi kesempatan pada bayi untuk kontak mata dengan ibu ).
e.       Ajak bicara dan beri sentuhan setiap memberikan perawatan
( R : memberi rasa aman pada bayi ).
7.      Risiko tinggi terhadap komplikasi berhubungan dengan tranfusi tukar
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan perawatan selama 1x24 jam diharapkan tranfusi tukar dapat dilakukan tanpa komplikasi
Intervensi :
a.       Catat kondisi umbilikal jika vena umbilikal yang digunakan
(R : menjamin keadekuatan akses vaskuler )
b.      Basahi umbilikal dengan NaCl selama 30 menit sebelum melakukan tindakan
( R : mencegah trauma pada vena umbilical ).
c.       Puasakan neonatus 4 jam sebelum tindakan
(R: mencegah aspirasi )
d.      Pertahankan suhu tubuh sebelum, selama dan setelah prosedur
( R : mencegah hipotermi
e.       Catat jenis darah ibu dan Rhesus memastikan darah yang akan ditranfusikan adalah darah segar
( R : mencegah tertukarnya darah dan reaksi tranfusi yang berlebihan 0
f.       Pantau tanda-tanda vital, adanya perdarahan, gangguan cairan dan elektrolit, kejang
selama dan sesudah tranfusi
(R : Meningkatkan kewaspadaan terhadap komplikasi dan dapat melakukan tindakan lebih dini )
g.       Jamin ketersediaan alat-alat resusitatif
(R : dapat melakukan tindakan segera bila terjadi kegawatan )
8.      PK Kern Ikterus
Tujuan : Setelah diberikan tindakan perawatan selama 3x24 jam diharapkan tanda-tanda awal kern ikterus bisa dipantau
Intervensi :
a.       Observasi tanda-tanda awal Kern Ikterus ( mata berputar, letargi , epistotonus, dll )
b.      Kolaborasi dengan dokter bila ada tanda-tanda kern ikterus.

D.     APLIKASI DISCHARGE PLANING
Pertumbuhan dan perkembangan serta perubahan kebutuhan bayi dengan hiperbilirubin (seperti rangsangan, latihan, dan kontak sosial) selalu menjadi tanggung jawab orang tua dalam memenuhinya dengan mengikuti aturan dan gambaran yang diberikan selama perawatan di Rumah Sakit dan perawatan lanjutan dirumah.
Faktor yang harus disampaikan agar ibu dapat melakukan tindakan yang terbaik dalam perawatan bayi hiperbilirubinemia (Waley &Wong, 1994):
1.      Anjurkan ibu mengungkapkan/melaporkan bila bayi mengalami gangguan-gangguan kesadaran seperti : kejang-kejang, gelisah, apatis, nafsu menyusui menurun.
2.      Anjurkan ibu untuk menggunakan alat pompa susu selama beberapa hari untuk mempertahankan kelancaran air susu.
3.      Memberikan penjelasan tentang prosedur fototherapi pengganti untuk menurunkan kadar bilirubin bayi.
4.      Menasehatkan pada ibu untuk mempertimbangkan pemberhentian ASI dalam hal mencegah peningkatan bilirubin.
5.      Mengajarkan tentang perawatan kulit :
·         Memandikan dengan sabun yang lembut dan air hangat.
·         Siapkan alat untuk membersihkan mata, mulut, daerah perineal dan daerah sekitar kulit yang rusak.
·         Gunakan pelembab kulit setelah dibersihkan untuk mempertahankan kelembaban kulit.
·         Hindari pakaian bayi yang menggunakan perekat di kulit.
·         Hindari penggunaan bedak pada lipatan paha dan tubuh karena dapat mengakibatkan lecet karena gesekan
·         Melihat faktor resiko yang dapat menyebabkan kerusakan kulit seperti penekanan yang lama, garukan .
·         Bebaskan kulit dari alat tenun yang basah seperti: popok yang basah karena bab dan bak.
·         Melakukan pengkajian yang ketat tentang status gizi bayi seperti : turgor kulit, capilari reffil.

Hal lain yang perlu diperhatikan adalah :
1.      Cara memandikan bayi dengan air hangat (37 – 38 °C)
2.      Perawatan tali pusat / umbilicus
3.      Mengganti popok dan pakaian bayi
4.      Menangis merupakan suatu komunikasi jika bayi tidak nyaman, bosan, kontak dengan sesuatu yang baru
5.      Temperatur / suhu
6.      Pernapasan
7.      Cara menyusui
8.      Eliminasi
9.      Imunisasi
10.  Tanda-tanda dan gejala penyakit, misalnya :
·         letargi ( bayi sulit dibangunkan )
·         demam ( suhu >  37 ° C )
·         muntah (sebagian besar atau seluruh makanan sebanyak 2 x)
·         diare ( lebih dari 3 x)
·         tidak ada nafsu makan.
11.  Keamanan
·         Mencegah bayi dari trauma seperti; kejatuhan benda tajam (pisau, gunting) yang mudah dijangkau oleh bayi / balita.
·         Mencegah benda panas, listrik, dan lainnya
·         Menjaga keamanan bayi selama perjalanan dengan menggunakan mobil atau sarana lainnya.

0 comments:

Post a Comment